Kamis, 01 Juli 2010

Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman

1. Pengertian Shalat

Shalat menurut bahasa adalah do’a, sedangkan menurut istilah adalah pekerjaan dan ucapan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri oleh salam. Sampai di manakah kebenaran pengertian tersebut? Marilah diuji dan dicari kebenarannya. (Falih, 1973: 26)

Permulaan shalat, shalat didirikan dengan membaca kalimah kebesaran Allah. Yaitu musholi bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar maka, serempak jiwanya bergerak menghadap ke Hadirat Allah Yang Mahatinggi-Mahamulia. Sementara musholi meninggalakan seluruh urusan dunianya dan memusatkan pikirannya untuk menghadap Allah SWT. Sehingga, sudah barang tentu ia putus hubungan dengan (makhluk) di bumi, meskipun jasadiahnya ada di atas hamparan bumi.Selesai memuji, memohon ampun dan pertolongan-Nya, kembali turun ke Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan ruhani dalam kehidupan seorang Muslim.

Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya, berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat’ ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya’ seperti gerakan, tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari sekedar ibadah bumi, seraya berdoa selamat (mengucap salam) kepada makhluk bumi, keselamatan dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi sesama makhluk-Nya. Sebab itulah shalat berawal dengan takbir ihram, Allahu Akbar dan berakhir dengan salam, ‘Assalamu’alaikum’.

2. Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman

Kewajiban dan syi’ar yang paling utama adalah shalat, ia merupakan tiang Islam dan ibadah harian yang berulang kali. Ia merupakan ibadah yang pertama kali dihisab atas setiap mukmin pada hari kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan kufur, antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:

“Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”

(HR. Muslim)

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir.” (HR- Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad)

Makna hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat r.a. Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili berkata, “Para sahabat Nabi SAW. tidak melihat sesuatu dari amal ibadah yang meninggalkannya adalah kufur selain shalat.” (HR. Tirmidzi)

Tidak heran jika Al-Qur’an telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat orang yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi penutup. Pada awalnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ.الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.” (Al Mu’minun: 9)

Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang muslim dan masyarakat Islam yang mengaku beriman.

Al-Qur’an juga menganggap bahwa menelantarkan (mengabaikan) shalat itu termasuk sifat-sifat masyarakat yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu termasuk ciri-ciri masyarakat kafir. Allah SWT berfirman:

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Allah SWT. juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah sebagai berikut:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku’lah, niscaya mereka tidak mau ruku’.” (AI Mursalat: 48)

Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman:

“Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannnya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (Al Maidah: 57).

Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang Rabbani, baik secara ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan). Sebagaimana Islam itu agama yang Rabbani, baik secara nasy’ah (pertumbuhan) maupun masdar (sumbernya), masyarakat yang ikatannya sambung dengan Allah SWT, terikat dengan ikatan yang kuat.

3. Ciri-ciri Orang Beriman

* Tidak mempertuhankan dan menyembah selain Allah
* Khusyuk dalam sholatnya ( Qs. Al – MU’minun ayat :2 dan 9)
* Tidak sombong ( Qs. Al- Furqan ayat : 63)
* Memohon perlindungan pada Allah dari siksa jahannam ( Qs. Al-Furqan
* ayat :65)
* Tidak berbuat syirik, Membunuh tanpa sebab yang tepat, dan berzina (Qs. Al- Furqan ayat : 68)
* Tidak bersaksi palsu ( Qs. Al-Furqan Ayat :72)
* Menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna ( Qs. Al mu’minun ayat :1-11)
* Menunaikan zakat
* Menjaga kemaluannya
* Memelihara amannahnya
* Memelihara sholatnya
* Menepati janjinya
* bersyukur saat mendapatkan nikmat dan bersabar saat mendapatkan mushibah sabda Rasul : “Aku mengagumi seorang mu’min. Bila memperoleh kebajikan ia memuji Allah dan bila ditimpa mushibah dia memuji Allah dan bersabar (karena mushibah itu). Seorang mu’min dberikan pahala dalam segala hal, walaupun sekedar sesuap nasi yang diberikan pada isterinya.”.( HR.Imam ahmad dan Abu Daud)

Cici-ciri orang beriman yang lain disebutkan juga dalam Qs. Al-Anfal bahwa:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah hati mereka penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya (keterangan Allah) niscaya bertambahlah keimanan mereka dan kepada Tuhan mereka berserah, mereka tetap mengerjakan sholat (pada waktunya) dan membelanjakan (pada perkara kebajikan) sebagian daripada rizki yang Kami (Allah) kurniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya, mereka itu mendapat (kehormatan) di sisi Tuhan mereka, dan mendapat ampunan serta rezki yang berharga.”

“Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.

(HR. Muslim)

Di dalam islam dan iman terkumpul agama secara keseluruhan. Sebagaimana nabi membedakan makna islam, iman dan ihsan.

Islam

Hukum islam terbukti dan terwujud dalam dua kalimah syahadat, menegakan shalat, membayar zakat, puasa ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang yang mampu. Inisemua adalah sui’ar-syi’ar islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya berarti sempurnalah penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak tunduk dan berserah diri.

Lalu penyerahan hati yakni ridla dan taat, dan tidak mengganggu orang lain baik dengan lisan maupun perbuatan, ia menunujukan adanya rasa ikatan ukhuwwah islamiyyah. Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yang memang menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain serta memerintahkan agar mendermakan dan menolong serta mencintai perkara-perkara yang baik, Ketaatan seseorang dengan berbagai hal tersebut juga hal lainnya merupakan sifat terpuji, yakni jenis kepatuhan dan ketaatan,dan ia merupakan gambaran yang nyata tentang islam. Hal-hal tersebut mustahil dapat terwujud tanpa pembenaran hati (iman). Dan berbagai hal itulah yang disebut sebagai islam.

Iman

Beliau telah menafsirkan iman kepada utusan Bani Abdil Qais dengan penafsiran islam yang ada dalamhadits Jibril. Sebagaimana yang ada dalam hadits Syu’abul Iman (cabang-cabang iman). Rasulullah SAW. Bersabda: “Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan.”.

Sudah diketahui bersama bahwa beliau tidak memaksudkan hal-hal tersebut menjadi iman kepada Allah tanpa disertai iman dalam hati, sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak dalil syar’i tentang pentingnya iman dalam hati.

Jadi syi’ar-syi’ar atau amalan-amalan yang bersifat lahiriyyah yang disertai iman dalam dada itulah yang disebut iman. Dan makna islam mencakup pembenaran hait dan amalan perbuatan, dan itulah istislam (penyerahan diri) kepada Allah.

Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat dikatakan, sesungguhnya sebutan islam daniman iman apabila bertemu dalam satu tempat maka islam ditafsirkan dengan amalan-amalan lahiriyyah, sedangkan iman ditafsirkan keyakinan-keyakinan batin.

Keduanya adalah wajib, ridla Allah tidak dapat diperoleh dan siksa Allah tidak dapat dihindarkan kecuali dengan kapatuhan lahiriyyah disertai dengan kepatuhan batiniyyah. Jadi tidak sah pemisahan antara keduanya.

Seseorang tidak dapat menyempurnakan iman dan islamnya yang telah diwajibkan atasnya kecuali dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana kesempurnaan tidak mengharuskan sampainya pada puncak yang dituju, karena adanya bermacam-macam tingkatan sesuai dengan tingginya kuantitas dan kualitas amal serta keimanan.

4. Shalatnya Orang Beriman

Orang beriman melaksanakan shalat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. serta sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana sabdanya:
إنما صنعت هذا لتأتموابي ولتعلموا صلاتي

“Aku lakukan hal ini agar kalian dapat mengikuti aku (bermakmum) dan agar kamu sekalian tahu shalatku” (HR. Bukhari-Muslim)
صلوا كما رأيتموني أصلي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari-Muslim).

Orang yang beriman melakukan shalat tidak hanya berupa gerakan-dan ucapan yang telah dicontohkan Rasulullah melainkan menekankan pada esensi shalat yaitu terdapatnya kekhusuan.

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.” (Al Mu’minun: 9). Jadi kehkusu’an merupakan salah satu tanda iman dan tanda-tanda orang yang memperoleh keberuntungan.

Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan “kolam renang” ruhani yang dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak tersisa kotoran sedikit pun.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kamu sekalian berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat ‘asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat isya’, shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun.” (HR. Thabrani)

5. Arti Sholat Bagi Orang-Orang Yang Beriman

Dari Ibnu Umar r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bangunan islam ditegakkan diatas lima tiang : Bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.

Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.

Imam Asy-syahid Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: “Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL Qur’an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan dalam shalat jum’at di atas nilai-nilai sosial yang baik, seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?

Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil dari”Komunisme” makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari “kediktatoran” makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah’ mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil dari “Demokrasi” suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak ada keruwetan” (URGENSI SHOLAT, Yusuf Al-Qardawi)

Karena itu semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai”mizan” atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana ia memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

“Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman.” (HR. Tirmidzi).

Dalam kitab Jami’ush shogir lima orang sahabat r.a. yaitu Tsauban, Ibnu Umar, Salamah, Abu Umamah dan Ubadah r.a.telah meriwayatkan hadist ini : ” Sholat adalah sebaik-baik amalan yang ditetapkan Allah untuk hambanya.”. Begitupun dengan maksud hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud dan Anas r.a.

Begitulah orang orang yang beriman itu bukanlah orang yang melaksanakan ritual dan gerakan-gerakan yang diperintahkan dalam sholat semata tetapi dapat mengaplikasikannya dalam keseharianya. Sholat sebagai salah satu penjagaan bagi orang-orang yang beriman yang benar-benar melaksanakannya.

“….sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…”(Qs. Al-Ankabut ayat 45).

Sholat adalah salah satu aplikasi dari keimanan yang diambil dari konsekuensi rukun islam yang pertama. Sebagai muslim yang memilki iltizam terhadap apa yang telah menjadi konsekuensi pengakuannya terhadap keimanannya pada Allah, maka sholat akan menjadi pencegah kemaksiatan dan kemungkaran dari dirinya sebagaimana telah disebutkan dalam ayat tadi.

Abdullah bin mas’ud berkata ” Sesungguhnya aku mengamati masyarakat kami bahwa tidak seorangpunyang meninggalkan sholat kecuali seorang munafik yang diketahui kemunafikannya“.(HR. Muslim)

Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, melakasanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.(HR. Imam Bukhari dan muslim)

Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan.

Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati, tafahhum ( Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah.

6. Sholatnya Orang-Orang Fasik

Sholat sebagai suatu yang mulia bagi orang-orang yang beriman dan mencapai kekhusyu’an. Namun lain halnya dengan orang yang ‘imannya tipis’, sholat menjadi sesuatu yang sangat memberatkan mereka seperti dalam firman Allas Swt :

“Dan mintalah pertolongan (pada Allah) dengan sabar dan sholat dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi oerng-orang yang khusyu’ yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.

Adapun beberapa golongan yang digolongkan mengenai pelaksanaan solatnya yang tergolong kedalam perbuatan orang-orang fasik.

Golongan pertama adalah golongan orang yang telah mengetahui ilmu tentang shalat, yaitu mengenai syarat dan rukunnya, perkara-perkara yang membatalkannya, tentang bersuci dari hadas, begitu juga bacaannya sudah betul dan lain sebagainya. Akan tetapi golongan ini tidak mampu melawan nafsu. Sehingga godaan dan tarikan dunia mudah memalingkan mereka daripada menunaikan kewajiban kepada Tuhannya seperti perintah shalat ini. Bila mereka sedang ada mood maka ditunaikannya juga shalat. Tetapi bila ada urusan pekerjaan, maka mereka lupakan saja shalat dan mendahulukan apa saja tuntutan pekerjaan mereka walaupun mereka tahu perbuatan itu berdosa. Dengan kata yang lain, mereka tidak istiqomah di dalam mengerjakan perintah shalat. Golongan ini dihukumkan sebagai orang fasiq. Seperti firman Allah di dalam Al Quran: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq”.

Golongan kedua yaitu orang –orang yang sudah mengerjakan shalat dan sudah tahu ilmunya, akan tetapi tidak khusyuk dalam mengerjakannya. Yakni, jiwa dan fikirannya tidak ditumpukan untuk mengingati Allah dengan menghayati bacaan-bacaan dalam shalat. Fikirannya melayang-layang memikirkan hal-hal lain di luar shalat, seperti perniagaannya, kerjanya, istrinya, anaknya, dan lain-lain lagi. Golongan ini tidak menjiwai shalatnya, malah pekerjaannya di luar shalat itu yang dijiwai sehingga mengganggu ibadah shalatnya. Mereka diancam oleh Allah SWT dengan firmanNya:

“Maka kecelakaanlah (neraka Wail) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai di dalam shalatnya“. (Al Ma’un 4-5)

Adapun ciri orang yang munafik dapat dilihat dalam pelaksanaan sholat itu sendiri:

“Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk sholatmereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya(dengan sholat) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan dengan sedikit sekali“(Qs. Annisa Ayat 142).